SILSILAH THAREQAT ASY-SYATTARIYAH SYAHID
Baginda Nabi Muhammad Saw
Al-Imam Ali bin Abi Thalib
Sayyidatina Fatimah Zahro binti Muhammad
Al-Imam Hasan bin Abi Thalib
Al-Imam Husein bin Abi Thalib
Sayyid Zaenal Abidin
Sayyid Muhammad Al-Baqir
Sayyid Ja'far Shodiq
Syekh Maulana Muhammad Al-Magridi
Syekh Maulana Al-Akrobi Yazidal Asaq
Syekh Syaidina Abi Al-Mujapar Maulana Torikot Tausi
Syekh Kutub Ibnu Hasan Harroni
Syekh Syaidina Hadholi Allama Uro Ummahri
Syekh Syaidina Muhammad Asaq
Syekh Syaidina Muhammad Arif
Syekh Syaidina Muhammad Abdillah Sattari
Syekh Syaidina Al-Imamu Kodi As-Sattari
Syekh Syaidina Hidayatullah As-Samarsta
Syekh Syaidina Kutubul Mukorobin Haji Hadurotuba Sirrohu
Syekh Al-Gausal Zama Makali Jawamua Syaidina Muhammad Al-Gausi
Syekh Kutubul Ulama Syaidina Wajidi Al-Alawi
Syekh Sulton Arifin Syaidina Sabgatullah
Syekh Basalasi Abi Al-Muhibi Abdillah bin Ahmad Sanawi Tobballah Sirrohu
Syekh Kutubul Dalrah Musa Hadatil Rabbani Alk Mubrodi Piawannah Sirrohu
Syekh Ahmad Ibni Muhammad Almadani Ansori Syahid
Syekh Bilqosasih
Syekh Abdul Rauf Singkil
Syekh Burhannudin Ulakan
Syekh Angku Pondok
Syekh Ampalu Panjang
Syekh Angku Razak
Syekh Angku Kiambang
Syekh Angku Salleh
Syekh Abdul Hamid Jama'a
Syekh Jamal Rifa'i Quddus
Syekh Jamal Rifa'i Quddus
Khalifah Syattariyah Syahid Dibawah Naungan Guru Besar :
Syekh Al-Mukarram Al-Faqih Jamal Rifa'i Quddus Asy-Syattary Syahid
- Mhd.Abdul Jalal
- Mhd.Sorbani
- Mhd.Ilham
- Mhd.Syarifuddin Al-Abid
- Mhd.Surya Indra Buana Al-Hadi
- Mhd.Zulkifli Al-Hamid
- Mhd.Badrun Al-Zuhud
- -----------------
- ----------------
- ----------------
Silsilah Thareqat Syattariyah Asy-Syahid
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di
India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang
mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah)
dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini
disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama
Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap
dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini
dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki
karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Hanya
sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah
keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di
salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan
secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad
Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara,
artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah
kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha
(nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari
gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya
berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah
(Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah
tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga
istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam
Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi
yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa
raga).
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini
tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin
memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah
asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal
di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah
Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil
mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui
apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke
Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan
tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif
murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal
Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh
murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal
sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam
mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang
berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan
keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah,
cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah
seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat
dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan
pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat
ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini
Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan
sampai ke Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India
ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka,
Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan
mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat
Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya
Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan
dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad
Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang
kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru
asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad
al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil
menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat
Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua
orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim
al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul
Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab
terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya
Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek
tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah
al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya,
Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini
lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin
van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan
menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah,
sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada
al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang
tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku
ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam
ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau
sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarekat
ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang
kembali dari Tanah Arab.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian
turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini,
menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika
melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19
tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama.
Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan
tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh,
melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara
lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan
sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini
kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan
disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup
terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul
Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah
cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan
lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif
dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia
menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara berbagai tarekat
yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan
metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas
ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang
Jawa.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah
Perkembangan
mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang
membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak
harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa
jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan
yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh
kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada
tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada
tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik)
serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat,
zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan
musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain,
Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga
kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir
dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan
kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani
shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad.
Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme
atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari
kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar
memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut
para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk
sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat ini, dikenal
tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk
masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam
nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita
manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan
mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
- Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
- Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
- Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
- Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
- Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
- Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
- Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada
firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami
sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya
tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus
ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
- Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya. - Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
- Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
- Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
- Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
- Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
- Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus
dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi
dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama
Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar,
al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang
berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus,
al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang
merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min,
al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan
secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi
bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap
seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik
yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus
diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah
bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing
spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang
yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak
bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan
batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam
tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap
berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat
ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib
ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin
mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun
(memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat),
dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci,
persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam
Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan
haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah
hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau
syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa;
memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan
yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada
disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan;
menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium
segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu,
dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang
sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian
berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana
tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para
wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para
pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk
Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam
melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi
kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir
kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai
sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas
garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar
kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah
jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi
Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Pulau Jawa:
Nabi
Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina
Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam
Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami,
kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada
Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh
Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh
Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin
Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh
Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul
Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di
Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di
Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai
Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi
(Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada
Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan),
kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman
(Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo
Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama
(Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH
Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
Bapak KH Muhammad Munawar Affandi sampun sedo. kepada Putra beliau ke-3. Pak K. Muhammad Anwar Muttaqin (Nganjuk)
BalasHapusKetika Bpk Kyai Muhammad Anwar Muttaqin belum lahir, Guru dari Alm. Bpk KH Muhammad Munawar Afandi (Syekh. Muhammad Qusnun Kalibaru) berpesan kepada Bpk KH Muhammad Munawar Afandi bahwa, "jika putra beliau yg nomor 3 lahir laki", maka putra nomor 3 itulah penerusnya", demikian yg kami ketahui sebagi murid, jika ada yg tidak sependapat saya mohon maaf dan Maklum I, semoga bermanfaat...
BalasHapusMaksud Syekh.Muhammad Qusnun Kalibaru adl Syekh Muhammad Qusnun Malibari.🙏🙏🙏🙏
BalasHapusSaya termasuk dari sekian murid yg diberkah (Dibaiat) langsung oleh Mbah Kyai M.Munawwar affandi di tahun 2010 pada waktu itu jelas2 Mbah Kyai M. Munawar affandi berpesan langsung bahwa isinya "HU" Hanya boleh ditanyakan kepada 2 orang saja yaitu kepada Mbah Kyai Munawar Affandi piyambak dan kepada putra Beliau yg pertama yaitu Bapak Kyai.M.Dzoharul Arifin (Kyai Tanjung)... dan ini merupakan bentuk Hujjah nyata kepenerusan yg Hak dan Sah
BalasHapus